Wapres Bukti Ono masuk ke kamar kerja Presiden Susila Yardhayana. Di lihatnya Presiden sedang berwajah muram. Sepertinya sedang bete. Ada apa gerangan? Bukankah seharusnya presiden berbahagia hari ini? Baru sehari berlangsung peringatan hari kemerdekaan. Di masa seperti itu tentu saja Presiden menjadi sentral segala seremoni. Itulah saat-saat yang membahagiakan bagi Presiden. Wapres Bukti Ono tahu betul akan kegemaran Presiden pada seremoni. Tapi kini Presiden muram. Apakah ada yang tak memuaskan pada seremoni kemarin?
“Duduk, No.” perintah Presiden melihat Wapres bengong.
Lalu diam. Wapres juga diam, tak tahu harus melakukan apa. Lalu Presiden menarik napas panjang, lalu berguman tak jelas.
“Nyuwun sewu, Pak. Bapak kelihatannya sedang kurang sehat.”
“Aku baik-baik saja. Sehat. Cuma memang agak letih karena berpuasa.”
“Nggih, ngalkamdulilah kalau Bapak sehat. Tapi kelihatannya ada yang sedang merisaukan Bapak.”
Presiden diam sejenak.
“Aku malu, No.”
Wapres Bukti Ono sontak melihat ke pintu masuk kamar kerja Presiden, memastikan pintu itu tertutup rapat. Nampaknya Presiden mau curhat, dan kali ini sangat privasi.
“Nggih, Bapak bisa cerita sama saya. Tidak perlu malu, karena rahasia terjamin kalau sama saya.”
“Huss, ngaco kamu. Aku bukan mau curhat soal yang begituan. Ini soal hari kemerdekaan kemarin itu.”
“Lha ada apa to, Pak? Bapak tampak gagah dalam tiap seremoni hari kemerdekaan. Lagu-lagu Bapak diperdengarkan. Anak Bapak diperkenalkan lewat buku. Dan buku Ibu Negara juga diminati banyak orang. Saya fikir tadinya sudah memuaskan. Apa yang salah, Pak?”
“Lha, justru itu. Aku senang dengan semua, kecuali soal buku batik itu.”
“Oooh, begitu. Kenapa, Pak? Buku itu memalukan Bapak?”
“Iya, No. Itu bikin malu.”
“Kenapa, Pak?”
“Pertama, itu ndak orsinil. Itu kan tiru-tiru gaya Ibu Negara jaman guru sepuh saya dulu. Kedua, saya ndak suka editornya.”
“Lha, kenapa editornya? Kan anak buah Bapak?”
“Justru itu. Dia kan anak buah saya, kok diserobot sama Ibu. Lagipula, dia kan seharusnya ngurusi masalah perdagangan. Ini harga-harga pada naik tak terkendali. Kok dia masih sempat-sempatnya mengeditori buku batik.”
“Kalau yang pertama, seharusnya Bapak komplen sama Ibu, supaya lain kali ndak main serobot.”
“Huss, kamu jangan ngomong sembarangan. Mana berani aku komplen sama Ibu, No.”
Wapres terdiam.
“Kalau soal Menteri Perdagangan nanti saya tegur, Pak. Tapi ini orang suka ngeyel. Jangan-jangan nanti kalau ditegus dia ngeles.”
“Ngeles, gimana?”
“Lha itu Pak Presiden, lagi banyak masalah yang nggak beres kok sempat-sempatnya ngarang lagu.”
“Kamu kok makin kurang ajar, No?!!!” bentak Presiden.
Wapres langsung mengkeret terdiam.
Presiden mengeluh lagi.
“Seharusnya buku itu tidak aku izinkan dibagikan sebagai suvenir. Selain memalukan, jadinya ndak fokus. Aku mau menonjolkan anak sulungku, ini jadi fokus publik terpecah-pecah.”
Wapres terdiam sejenak. “Seharusnya memang Bapak larang, sih.” katanya.
“Kamu makin ngawur aja, No. Mana berani aku ngelarang dia!”
Wapres terdiam lagi. Salah tingkah. Lalu dia mencari-cari jalan untuk menghibur Presiden.
“Tapi tahun ini perayaan kemerdekaan istimewa, Pak. Rakyat semakin cinta pada Bapak. Itu tercermin dari aspirasi yang disalurkan melalui pak Luhut, wakil rakyat, untuk memperpanjang masa jabatan, Bapak.”
Berharap wajah Presiden jadi sumringah, Bukti Ono kaget ketika melihat wajah Presiden merah padam.
“Itu si Luhut kurang ajar, goblok nggak karuan!”
Wapres menjadi bingung. “Bapak tidak berminat untuk jadi Presiden setelah periode ini selesai?”
“Tentu saja TIDAK!” teriak Presiden sambil menggebrak meja.
Wapres semakin bingung dan ketakutan. Dia mencoba menjilat. “Ooooh, syukrulah. Berarti Bapak memang seorang demokrat sejati. Yang begitu menghormati demokrasi. Meski rakyat masih menghendaki kepemimpinan Bapak…………”
“Ngaco, kamu!” bentak Presiden lagi.
Wapres terdiam lagi. Kali ini dia tak lagi berminat membuka suara. Takut salah omong lagi.
“Aku tidak berminat jadi Presiden lagi, karena setelah ini aku ingin jadi Sekjen PBB. Paham?”
Wapres mengangguk. Ia mulai bisa bernafas lega.
“Nah, aku ada tugas untuk kamu.”
“Nggih siap, Pak.”
“Tolong kamu terjemahkan semua lagu ciptaanku ke Bahasa Inggris.”
“Nggih, siap, Pak. Tapi untuk apa?”
“Kamu kok bodo bener hari ini, No. Aku kan mau jadi Sekjen PBB. Apa kamu berharap nanti aku sebagai Sekjen PBB akan menyanyi dalam Bahasa Indonesia? Ya nggak, kan? Aku harus tampil internasional. Lagu-laguku harus diperdengarkan ke seluruh dunia dalam setiap seremoni PBB, termasuk pada pembukaan Sidang Umum dan Sidang Dewan Keamanan. Karena itu harus dalam bahasa Inggris. Paham?”
Wapres mengangguk berkali-kali.
“Nggih, siap laksanakan, Pak. Tapi saya fikir Bapak juga perlu mulai mengarang lagu-lagu bertema internasional, yang syair orisinilnya ditulis dalam bahasa Inggris.”
“Jangan ngece kamu, ya. Aku kan ndak pinter bahasa Inggris!”
“Lho, kan Bapak dulu ambil master di Amerika.”
“Huss, jangan bilang siapa-siapa, ya. Itu sebenarnya kuliah jarak jauh. Akunya di Bandung, tahu!”
“Oooh. Nggih, Pak. Paham. Perintah siap dilaksanakan.”
Wapres berdiri, menunduk memberi hormat pada Presiden, lalu berjalan meninggalkan ruangan.