Arsip

All posts for the day September 5th, 2014

Lagu Berbahasa Inggris

Published 5 September 2014 by endangkurnia

Wapres Bukti Ono masuk ke kamar kerja Presiden Susila Yardhayana. Di lihatnya Presiden sedang berwajah muram. Sepertinya sedang bete. Ada apa gerangan? Bukankah seharusnya presiden berbahagia hari ini? Baru sehari berlangsung peringatan hari kemerdekaan. Di masa seperti itu tentu saja Presiden menjadi sentral segala seremoni. Itulah saat-saat yang membahagiakan bagi Presiden. Wapres Bukti Ono tahu betul akan kegemaran Presiden pada seremoni. Tapi kini Presiden muram. Apakah ada yang tak memuaskan pada seremoni kemarin?

“Duduk, No.” perintah Presiden melihat Wapres bengong.

Lalu diam. Wapres juga diam, tak tahu harus melakukan apa. Lalu Presiden menarik napas panjang, lalu berguman tak jelas.

“Nyuwun sewu, Pak. Bapak kelihatannya sedang kurang sehat.”

“Aku baik-baik saja. Sehat. Cuma memang agak letih karena berpuasa.”

“Nggih, ngalkamdulilah kalau Bapak sehat. Tapi kelihatannya ada yang sedang merisaukan Bapak.”

Presiden diam sejenak.

“Aku malu, No.”

Wapres Bukti Ono sontak melihat ke pintu masuk kamar kerja Presiden, memastikan pintu itu tertutup rapat. Nampaknya Presiden mau curhat, dan kali ini sangat privasi.

“Nggih, Bapak bisa cerita sama saya. Tidak perlu malu, karena rahasia terjamin kalau sama saya.”

“Huss, ngaco kamu. Aku bukan mau curhat soal yang begituan. Ini soal hari kemerdekaan kemarin itu.”

“Lha ada apa to, Pak? Bapak tampak gagah dalam tiap seremoni hari kemerdekaan. Lagu-lagu Bapak diperdengarkan. Anak Bapak diperkenalkan lewat buku. Dan buku Ibu Negara juga diminati banyak orang. Saya fikir tadinya sudah memuaskan. Apa yang salah, Pak?”

“Lha, justru itu. Aku senang dengan semua, kecuali soal buku batik itu.”

“Oooh, begitu. Kenapa, Pak? Buku itu memalukan Bapak?”

“Iya, No. Itu bikin malu.”

“Kenapa, Pak?”

“Pertama, itu ndak orsinil. Itu kan tiru-tiru gaya Ibu Negara jaman guru sepuh saya dulu. Kedua, saya ndak suka editornya.”

“Lha, kenapa editornya? Kan anak buah Bapak?”

“Justru itu. Dia kan anak buah saya, kok diserobot sama Ibu. Lagipula, dia kan seharusnya ngurusi masalah perdagangan. Ini harga-harga pada naik tak terkendali. Kok dia masih sempat-sempatnya mengeditori buku batik.”

“Kalau yang pertama, seharusnya Bapak komplen sama Ibu, supaya lain kali ndak main serobot.”

“Huss, kamu jangan ngomong sembarangan. Mana berani aku komplen sama Ibu, No.”

Wapres terdiam.

“Kalau soal Menteri Perdagangan nanti saya tegur, Pak. Tapi ini orang suka ngeyel. Jangan-jangan nanti kalau ditegus dia ngeles.”

“Ngeles, gimana?”

“Lha itu Pak Presiden, lagi banyak masalah yang nggak beres kok sempat-sempatnya ngarang lagu.”

“Kamu kok makin kurang ajar, No?!!!” bentak Presiden.

Wapres langsung mengkeret terdiam.

Presiden mengeluh lagi.

“Seharusnya buku itu tidak aku izinkan dibagikan sebagai suvenir. Selain memalukan, jadinya ndak fokus. Aku mau menonjolkan anak sulungku, ini jadi fokus publik terpecah-pecah.”

Wapres terdiam sejenak. “Seharusnya memang Bapak larang, sih.” katanya.

“Kamu makin ngawur aja, No. Mana berani aku ngelarang dia!”

Wapres terdiam lagi. Salah tingkah. Lalu dia mencari-cari jalan untuk menghibur Presiden.

“Tapi tahun ini perayaan kemerdekaan istimewa, Pak. Rakyat semakin cinta pada Bapak. Itu tercermin dari aspirasi yang disalurkan melalui pak Luhut, wakil rakyat, untuk memperpanjang masa jabatan, Bapak.”

Berharap wajah Presiden jadi sumringah, Bukti Ono kaget ketika melihat wajah Presiden merah padam.

“Itu si Luhut kurang ajar, goblok nggak karuan!”

Wapres menjadi bingung. “Bapak tidak berminat untuk jadi Presiden setelah periode ini selesai?”

“Tentu saja TIDAK!” teriak Presiden sambil menggebrak meja.

Wapres semakin bingung dan ketakutan. Dia mencoba menjilat. “Ooooh, syukrulah. Berarti Bapak memang seorang demokrat sejati. Yang begitu menghormati demokrasi. Meski rakyat masih menghendaki kepemimpinan Bapak…………”

“Ngaco, kamu!” bentak Presiden lagi.

Wapres terdiam lagi. Kali ini dia tak lagi berminat membuka suara. Takut salah omong lagi.

“Aku tidak berminat jadi Presiden lagi, karena setelah ini aku ingin jadi Sekjen PBB. Paham?”

Wapres mengangguk. Ia mulai bisa bernafas lega.

“Nah, aku ada tugas untuk kamu.”

“Nggih siap, Pak.”

“Tolong kamu terjemahkan semua lagu ciptaanku ke Bahasa Inggris.”

“Nggih, siap, Pak. Tapi untuk apa?”

“Kamu kok bodo bener hari ini, No. Aku kan mau jadi Sekjen PBB. Apa kamu berharap nanti aku sebagai Sekjen PBB akan menyanyi dalam Bahasa Indonesia? Ya nggak, kan? Aku harus tampil internasional. Lagu-laguku harus diperdengarkan ke seluruh dunia dalam setiap seremoni PBB, termasuk pada pembukaan Sidang Umum dan Sidang Dewan Keamanan. Karena itu harus dalam bahasa Inggris. Paham?”

Wapres mengangguk berkali-kali.

“Nggih, siap laksanakan, Pak. Tapi saya fikir Bapak juga perlu mulai mengarang lagu-lagu bertema internasional, yang syair orisinilnya ditulis dalam bahasa Inggris.”

“Jangan ngece kamu, ya. Aku kan ndak pinter bahasa Inggris!”

“Lho, kan Bapak dulu ambil master di Amerika.”

“Huss, jangan bilang siapa-siapa, ya. Itu sebenarnya kuliah jarak jauh. Akunya di Bandung, tahu!”

“Oooh. Nggih, Pak. Paham. Perintah siap dilaksanakan.”

Wapres berdiri, menunduk memberi hormat pada Presiden, lalu berjalan meninggalkan ruangan.

Berfikir Cara Fisika

Published 5 September 2014 by endangkurnia

Meski bukan ahli, saya cukup lama menggemari pelajaran fisika. Waktu SMA saya memilih program IPA, dengan terseret-seret otak saya terus melaju di kelas 3 SMA jurusan eksak itu. Guru-guru eksak diantaranya Matematika, Fisika dan Kimia mengerti kesukaan saya pada pelajaran-pelajaran tersebut yang sebenarnya otak saya dinilai mereka lebih cepat menyerap kalimat daripada angka. Bisa jadi ini adalah doa kedua orang tua saya yang menginginkan saya bisa berbahasa khususnya Bahasa Inggris. Ya, saya kuliah jurusan Bahasa Inggris karna my beloved who is my parent. Tapi rasa suka saya pada eksak khusunya Fisika sampai sekarang masih setia.

Mau tak mau cara berfikir dengan metode fisika berpengaruh besar pada cara berfikir saya. Akan jadi lebih indah ketika angka dan kalimat itu dinikahkan. Bagaimana jadinya?

Orang fisika menjabarkan banyak hal melalui persamaan gerak yang berasal dari Hukum Newton. Bentuk persamaannya bisa bermacam jenis, tergantung dari pendekatan. Intinya, orang fisika suka melihat sesuatu secara umum dan kalau bisa sederhana. Untuk menyederhanakan diperlukan berbagai pengolahan matematis.

Kita umumnya mengenal koordinat Cartesian, di mana posisi benda dinyatakan dalam posisinya di sumbu XYZ. Ini adalah koordinat linier. Tapi ada kalanya dengan sistem koordinat ini persamaan gerak benda menjadi terlalu rumit. Dalam hal itu sistem koordinat bisa diganti menjadi koordinat silinder atau bola. Bahkan dalam mekanika klasik dikenal koordinat umum (generalized coordinate), di mana parameter yang terlibat ditentukan berdasarkan keadaan sebuah sistem.

Pemilihan kerangka acuan juga sering dilakukan untuk membuat persamaan gerak menjadi sederhana. Secara umum, kerangka acuan dengan pengamat yang diam lebih disukai. Tapi tidak jarang memilih pengamat yang bergerak sebagai kerangka acuan membuat persamaan gerak menjadi lebih sederhana.

Dalam hal ini kerangka berfikir fisika membuat saya terlatih dalam membedakan antara substansi dan sudut pandang. Setidaknya menurut saya begitu. Sering kita melihat bahwa pandangan kita adalah pandangan absolut. Padahal pandangan kita itu sebenarnya hanyalah satu alternatif sudut pandang. Persoalan bisa dilihat dari sudut pandang lain, dan ia menjadi terlihat berbeda, meskipun substansinya sama.

Pernahkah Anda kaget ketika Anda merasa mobil yang sedang Anda tumpangi tiba-tiba bergerak maju, padahal Anda sedang berhenti? Itu kita alami ketika mobil di sebelah kita tiba-tiba mundur. Kita tidak menyadari situasinya, mengira mobil itu sedang diam dan kita lah yang bergerak maju. Biasanya keadaan ini hanya sebentar, karena kita kemudian segera menyadari “substansi” persoalannya, yaitu mobil di sebelah kita sedang bergerak mundur. Tapi ingat, pandangan kita bahwa “mobil kita sedang bergerak maju” bukanlah pandangan yang keliru. Ia tetap bisa menjadi pandangan yang sahih, selama kita sanggup membangun persamaan gerak pelengkapnya secara konsisten.

Ketersediaan berbagai kerangka acuan dan sistem koordinat sering kali membuat segala sesuatu jadi serba relatif, tidak ada lagi yang absolut. Hal yang dianggap absolut oleh seseorang sebenarnya hanyalah sesuatu yang dia absolutkan.

Nanti kalau bicara tentang Tuhan, akan ngeri-ngeri sedap jadinya.

Emot senyum
Endless Kurnia,

Melucuti Jilbab, Bra dan Celana Dalam.

Published 5 September 2014 by endangkurnia

Feminis: “Jilbab itu tidak wajib. Yang terpenting: jilbabkan hati dulu!”

Tanggapan:
[1] Memangnya hati bisa dijilbabkan ya?
[2] Wong menjilbabkan kepala saja belum bisa, apalagi menjilbabkan hatinya?
[3] Sejak kapan di agama Islam ada istilah ‘menjilbabkan hati’?
[4] Memangnya hatimu aurat ya? Kok dijilbabkan?

Sebagian feminis dan yang sekonco dengannya berkata, “Jilbab itu tidak wajib. Saya merasa tidak perlu itu. Yang terpenting adalah menjilbabkan hatinya dulu. Banyak kok yang berjilbab tapi hatinya busuk.”

Sebagai orang yang berakal, kita bisa mengakali jawaban atau menjawab berdasar pada akal. Seperti ini: “Anda juga tidak perlu memakai celana. Yang penting mencelanai kemaluan Anda. Dalam hal ini, Anda sudah bagus memakai celana dalam. Saya fikir Anda tidak perlu jalan ke luar rumah memakai rok. Tapi sepertinya bagi Anda memakai celana dalam pun tidak perlu. Banyak kok orang memakai celana dalam tapi busuk hatinya.”

Feminis tersinggung, “Saya masih punya harga diri dan menutup kemaluan saya!”

Tanggap, “Tapi hati Anda sudah dicelana dalamkan ga? Oh ya, Anda kenapa memakai bra? Bagi saya itu tidak penting. Yang penting Anda mem-bra-kan hati Anda. Seharusnya Anda telanjang saja seperti anjing betina. Yang penting ‘hati’ Anda sudah memakai jilbab, bra dan celana dalam. Anda siap telanjang sekarang di depan orang2?”

Feminis menjawab, “Saya sedia! Selama Anda tidak menilai hati saya hanya berdasarkan ketelanjangan saya. Anda tidak tahu hati saya seperti apa. Hanya Tuhan yang tahu hati manusia.”

Jawablah: “Kalau begitu, Anda tidak tahu malu dan tidak konsisten. Anda tadi bilang bahwa Anda masih mau menutupi kemaluan dengan celana. Ternyata sekarang Anda malah jadi tidak tahu malu siap sedia telanjang di sini. Anda tidak konsisten juga ketika Anda mengatakan hanya Tuhan yang tahu hati manusia. Tapi sebelumnya Anda menilai hati banyak jilbaber busuk. Berarti Anda tuhan kah? Kok tahu kebusukan hati mereka?”

Feminis meradang, “Mereka berhati busuk karena tingkah mereka yang busuk. Itu
cerminan!”

Jawab saja : “Oh begitu. Kalau begitu Anda lebih jelek dan busuk dari mereka. Mereka masih mau tutup aurat dan turut perintah Tuhan. Lah Anda? Sedia telanjang dan melanggar perintah Tuhan. Sudah begitu, masih pura-pura berkemaluan pula. Memangnya Anda punya!?”

4 September: Hari Solidaritas Hijab Sedunia
Endless Kurnia,

Dalil Cinta untuk Indonesia

Published 5 September 2014 by endangkurnia

Ada ustadz yang berkata, ah maaf, sebenarnya malu saya membahasnya. Dari sisi pemilihan diksi saja sudah tergambar
kualitasnya. Tapi karena banyak yang membaginya, saya harus bahas.

Ia berkata, membela nasionalisme itu tak ada dalilnya. Adapun membela Islam ada dalilnya. Kita tentu akan berkerut kening membaca istilah “membela nasionalisme”. Tapi dengan sedikit berjongkok bolehlah dipahami bahwa maksudnya adalah tidak perlu bersikap nasionalis, karena tidak ada dalil yang mengajarkannya.

Apa makna nasionalis bagi Anda? Bagi saya, sebagai orang Indonesia, nasionalis artinya saya tinggal di bumi Indonesia ini, maka saya akan menjaganya agar aman, damai, bersih, sehat, tertib, dan makmur. Adakah dalil untuk hal-hal itu? Saya bukan ahli dalam berdalil. Sudah saya katakan bahwa saya ini bukan ahli apa-apa, hanya ahli dalam hal bukan-bukan. Maka saya cukup pakai akal saya saja.

Kalau saya punya rumah, maka saya tidak perlu dalil untuk tahu bahwa saya harus menjaga kebersihan dan keamanan rumah saya. Juga keindahannya. Kalau saya tinggal di suatu kampung maka hukumnya sama. Kalau saya buang kotoran atau sampah di kali kampung saya, maka saya sedang memastikan bahwa besok lusa saya akan mandi atau minum air bercampur kotoran. Kalau saya membuat onar, maka cepat atau lambat akibatnya akan menimpa saya.

Kita tak perlu dalil untuk paham hal-hal sederhana seperti itu. Maka kita tidak perlu cari-cari dalil untuk cinta Indonesia. Kalau kita cari mungkin akan kita temukan dalil, dan mungkin pula akan ada yang membantahnya.

Kita mafhum, yang paham soal dalil biasanya orang-orang pintar, diantaranya pintar berbantahan. Saya yang tak pintar ini tak perlu berdalil. Jadi sekali lagi, saya tak perlu berdalil untuk cinta Indonesia.

Indonesia adalah rumah kita. Indonesia adalah kampung kita. Indonesia adalah negeri kita. Kita tak perlu dalil-dalil untuk menjaga, merawat, dan memakmurkannya. Karena menjaga Indonesia adalah menjaga diri kita, serta anak cucu kita.

Satu hal lagi. Indonesia ini hanyalah bagian dari kampung bumi. Bila kita mengotori atau merusak Indonesia, kita sedang merusak dan mengotori bumi kita. Seperti kita sedang mengotori air di bak mandi kita. Kita orang waras, tentu tak melakukannya, meski tak ada dalil yang melarangnya.

Orang-orang yang segala sesuatu dalam hidupnya harus berdasar dalil-dalil sepertinya adalah orang-orang yang tujuan hidupnya hanya untuk akhirat belaka. Well, semoga mereka segera pindah ke sana.

Endless Kurnia,